RESENSI BUKU: DALAM DEKAPAN UKHUWAH

DAKWAH MENDAYU-DAYU DAN PENUH BUMBU


Sumber gambar: http://salimafillah.com/wp-content/uploads/2013/12/Dalam-Dekapan-Ukhuwah-500x500.jpg


Sebuah kebahagiaan
Saya bahagia membaca Dalam Dekapan Ukhuwah (DDU) karya Salim A. Fillah. Sudah lama saya merindukan sosok da’i yang gemar membaca tanpa membatasi bacaan. Terlebih lagi jika bacaan itu berupa karya sastra, buku-buku yang kerap dipandang dan diperlakukan hanya sebagai pengisi waktu luang. Takjarang dianggap takberguna karena berisi khayalan semata; fiktif[1].
            Melalui bacaan yang banyak dan beragam itu, Salim meracik pesan ukhuwah dengan banyak bahan dan bumbu. Ukhuwah, sebuah kata yang teramat klise, dielaborasi secara intens dengan berbagai kisah dan puisi. Kemudian, coba dikontekstualisasikan dengan situasi dan diri para pembaca, meski dalam ranah pemikiran (fiqrah) tertentu.
            Seperti pendahulunya, Ust. Rahmat Abdullah dan Anis Matta, Salim tidak alergi terhadap buku-buku sastra, termasuk karya sastra bernapas teologi yang ditulis oleh mereka yang berbeda akidah, semacam Paulo Coelho dan Goethe. Bahkan, hasil bacaannya itu kemudian dia gunakan sebagai bahan tambahan yang menjadi bumbu penyedap dakwah. Maka, kita mendapati kisah-kisah klasik dalam sejarah Islam, baik dari Al Quran, sirah nabawiyah, maupun sirah shahabat berbaur dengan novel Sang Alkemis, drama Faustus, dan penggalan-penggalan sajak Gibran, Herman Hesse, atau T.S. Elliot. Salim memadu-padankan antara kebenaran nubuwah dan kebenaran al-hikmah. Selain dari teks, kekayaan intelektual Salim juga diperolehnya dari pengalaman berkeliling tanah air dan mendapati pelbagai harta karun hikmah dalam berbagai kemasan: tari-tarian, pepatah, nyanyian, dan benda-benda bersejarah[2].
            Sebagai penikmat dan pemerhati sastra dan budaya, saya bahagia mendapati sebuah fenomena bahwa ada seorang public figure yang disadari atau tidak turut mempromosikan kepada khalayak bahwa karya sastra dan produk budaya lainnya amat berguna bagi kehidupan nyata.
            Kebahagiaan saya yang kedua adalah bahwa Salim adalah tipikal da’i yang mencintai bahasa. Hal itu merupakan konsekuensi dari kecintaannya pada buku. Ia memiliki kesadaran bahwa bahasa merupakan medium utama dakwah. Bahkan ia tidak berhenti di sana. Seperti halnya para penyair dan tukang cerita, ia memiliki hasrat dan semangat untuk bermain-main dengan bahasa. Ia menggunakan kata-kata yang taklazim, seperti bersiponggang, mencerangkah, dan liyan. Ia ingin menghidupkan kembali khazanah kata-kata yang mati suri akibat lama takdigunakan. Juga berupaya keras mendaki terjalnya bangunan wacana dan mencoba menghanyutkan diri dalam derasnya arus makna.
            Meski takterlalu berhasil dalam menaklukkan dan mempermainkan bahasa, materi ukhuwah yang begitu klise, yang terlalu sering saya dengar dari khutbah Jumat dan taklimat-taklimat, menjadi segar dan cantik dibuatnya. Sungguh, saya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap buku ini.

Beberapa Catatan
Tak ada gading yang tak retak, tak ada sutera yang tak koyak. Didorong oleh semangat ukhuwah dan kecintaan pada sesama muslim yang memiliki niat dan tekad mulia, saya ingin memberikan beberapa catatan pada buku ini yang mudah-mudahan berguna bagi penulis, para calon penulis, dan pihak penerbit.
            Pertama, soal pemilihan kata. Kalimat yang baik itu seperti pohon yang baik: akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit. Akar dari kalimat adalah kata. Jika kata-kata penyusunnya baik, kalimat itu pun akan baik. Demikianlah, saya mendapati beberapa kalimat yang kurang baik oleh sebab tersusun dari kata-kata yang kurang baik. Kategori baik-tidaknya kata-kata bisa berdasarkan pada rumusan-rumusan dalam ilmu bahasa, di antaranya baku-takbaku, berterima-takberterima, serta tepat-taktepat. Berikut beberapa kata-kata kurang baik yang saya temukan dalam DDU.

Baku-takbaku
Takbaku
Baku
Faham, fikir
Paham, pikir
Taqwa
Takwa
Isteri
Istri
Himbau
Imbau
Nasehat
Nasihat
Sekedar
Sekadar
Rizki/rizqi
Rejeki
jalanNya, rasulNya
Jalan-Nya, rasul-Nya
Maha Kuasa, Maha Bijaksana, Maha Lembut
Mahakuasa, Mahabijaksana, Mahalembut
Ekstrim
Ekstrem

berterima-takberterima
Takberterima
Berterima
Mukmin lah
Mukminlah
Memberitahu
Memberi tahu
Menyeputari
Memutari
Meniadai
Meniadakan
Tertegak
Tertegakkan/ dapat ditegakkan
Membersamai, dibersamai
Menyertai, disertai
Terbanjir
Terbanjiri
Bermesra
Bermesraan
Memelukkan keyakinan
Memeluk keyakinan
Terlenyap
Lenyap
Mendamai hati
Mendamaikan hati

tepat-taktepat
Taktepat
Tepat
Linear datar
Linear/datar
Mekar berbinar
Mekar merekah
Kesunyian mendesing
Kesunyian menyelimuti
Sama takjubnya pinta Ibrahim
Sama takjubnya pada permintaan Ibrahim
Bintang-bintang menyinarkan sekitaran dengan cahayanya
Bintang-bintang menyinari angkasa di sekitarnya dengan cahayanya
Tindak utama yang ….
Tindakan utama yang …
Di berlalunya ….
Saat berlalunya ….

            Kedua, gaya bahasa yang terlampau mendayu-dayu (berlambat-lambat dan berulang-ulang) yang mengganggu proses pembacaan.

Contoh berulang-ulang
TanganNya yang telah menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita (hlm. 52).

Kita ingin menatap mereka dengan tatapan rahmatNya. Kita ingin mendengar mereka dengan telinga istijabahNya. Kita ingin menggandeng mereka dnegan tangan hidayahNya. Kita ingin menjajari langkah mereka dengan tapak ridhaNya (hlm. 66).

Contoh berlambat-lambat
“Katakan yang benar,” begitu Rasulullah bersabda dalam riwayat Al-Baihaqi dari Abu Dzar Al-Ghiffari, “Meskipun pahit.” (hlm 118).

“Seorang teman,” demikian tokoh Cassius dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare berkata, “Harus menanggung kelemahan temannya. Namun orang seperti Brutus ….” (hlm. 134)

Ketiga, melimpahnya kisah dalam pembahasan suatu subbab/materi, namun minim pembahasan/penafsiran. Hal ini menyebabkan kelemahan yang disebutkan pada poin kedua bertambah karena ide pokoknya menjadi kabur. Jika diibaratkan rujak atau kolak, ia terlalu banyak gula; jika diibaratkan kari, ia terlalu kental. Selera makan pun terganggu.

Saran dan Harapan
Sebagai seorang muslim yang terus berikhtiar menambah ilmu, saya sebenarnya berharap akan mendapati konsep ukhuwah yang lebih canggih dan membumi. Kita hidup di sebuah zaman yang segalanya kian terfragmentasi, terspesialisasi. Kita berada di bumi yang telah terkotak-kotak dalam berbagai wilayah, baik secara geografis (negara, provinsi, kabupaten) maupun kultural (Minang, Sunda, Jawa). Saya berharap ada seseorang yang merumuskan dan menafsirkan kembali konsep ukhuwah dalam umat yang berbagai itu.
            Sebagai perbandingan, saya mendapati konsep ukhuwah rumusan K.H. Ahmad Siddhiq yang saya harapkan itu. Beliau membagi ukhuwah ke dalam tiga macam: al-ukhuwah al-islamiyyah (persaudaraan keislaman), al-ukhuwah al-wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan al-ukhuwah al-basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan)[3].
            Saya menyarankan kepada para pemuda muslim yang berdakwah melalui tulisan untuk kian meningkatkan kompetensi berbahasanya dan kian kreatif dalam meramu berbagai sumber dan referensi sehingga akan tercipta sebuah buku dakwah yang berkualitas yang dengannya umat menjadi lebih tercerahkan.
            Wallahu a’lam.

(Tulisan ini disajikan dalam rangka bedah buku Dalam Dekapan Ukhuwah karya Salim A. Fillah [Pro-U Media, 2010], 14 Januari 2011, KAMMI-UNISBA)





[1] Dalam pengertian umum, istilah fiktif bersinonim dengan ‘tidak nyata’ alias ‘bohong’
[2] Lihat lembar terima kasih di bagian akhir buku
[3] Kompas, Senin, 3 Januari 2011

#salimafillah #dalamdekapanukhuwah #bukuislam #bedahbuku #resensibuku #kammi #unisba

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ULASAN FILM "THE SHAPE OF WATER"

RESENSI MELEPAS DAHAGA DENGAN CAWAN TUA DI KORAN GALAMEDIA